Bhumi Galuh Purba.Raden Santang Kahuripan Keturunan Kerajaan Galuh
Raden Santang Kahuripan merupakan Leluhur orang Kecamatan Purwojati, dia tinggal di sekitar desa Purwojati khususnya tinggal disekitaran tumbuhan pohon Jati yang di Purwojati. Dia bersama Badalnya membangun Purwojati dan memerintah Purwojati cukup lama.
Kecamatan Purwojati ....
bersambung ....
Bhumi Galuh Purba
Jumat, 28 Agustus 2015
Selasa, 09 Juni 2015
Asal Mula Wong Penginyongan Banyumas yaitu Galuh Purba
Sejarah asal mula wong Banyumasan alias asal mula orang Banyumas yang merupakan hasil rangkuman penulusuran di internet.
Untuk sharing kali ini selanjutnya Banyumas akan disebut Banyumasan, istilah ini untuk menggambarkan tentang orang dengan karakteristik “Banyumasan” artinya bukan hanya orang yang bermukim di wilayah Kabupaten Banyumas saja karena Budaya Banyumasan itu meliputi daerah di luar Kabupaten Banyumas.
Berdasarkan sejarah yang dihimpun dari sumber-sumber, terutama yang inyong ambil sebagai sumber adalah dari wikipedia Basa Banyumasan yang membeberkan sejarah Banyumasan yang dalam versi aslinya ditulis dalam bahasa Banyumasan dan Wikipedia Bahasa Indonesia , kurang lebih ceritanya begini ….
Berdasarkan sumber tersebut dikatakan bahwa nenek moyang orang Banyumasan berasal dari daerah Kutai Kalimantan timur sebelum periode Kerajaan Kutai Hindu, alias masih zaman pra Hindu.
Berdasarkan catatan Van der Meulen Kemudian pendatang-pendatang tersebut masuk ke tanah Jawa jauh sebelum abad ke 3 Masehi mendarat di Cirebon, kemudian masuk ke pedalaman. Sebagian menetap di sekitar Gunung Cermai dan sebagian lagi melanjutkan perjalanan dan menetap di sekitar Gunung Slamet dan Lembah Sungai Serayu.
Pendatang yang menetap di sekitar Gunung Cermai selanjutnya mengembangkan peradaban sunda sedangkan pendatang yang menetap di sekitar Gunung Slamet kemudian mendirikan Kerajaan Galuh Purba.
Kerajaan Galuh Purba yang didirikan di Gunung Slamet ini disebut-sebut merupakan kerajaan yang pertama di Jawa Tengah dan keturunannya bakal menjadi penguasa dari kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa.
Kerajaan Galuh Purba didirikan pada sekitar abad Ke-1 M di Gunung Slamet berkembang sampai dengan abad ke-6 M dengan kerajaan-kerajaan kecil dengan nama Galuh didepannya. Antara lain kerajaan :
- Kerajaan Galuh Rahyang lokasi di Brebes, ibukota di Medang Pangramesan
- Kerajaan Galuh Kalangon lokasi di Roban, ibukota di Medang Pangramesan
- Kerajaan Galuh Lalean lokasi di Cilacap, ibukota di Medang Kamulan
- Kerajaan Galuh Tanduran lokasi di Pananjung, ibukota di Bagolo
- Kerajaan Galuh Kumara lokasi di Tegal, ibukota di Medangkamulyan
- Kerajaan Galuh Pataka lokasi di Nanggalacah, ibukota di Pataka
- Kerajaan Galuh Nagara Tengah lokasi di Cineam,ibukota di Bojonglopang
- Kerajaan Galuh Imbanagara lokasi di Barunay (Pabuaran), ibukota di Imbanagara
- Kerajaan Galuh Kalingga lokasi di Bojong, ibukota di Karangkamulyan
Kerajaan Galuh Purba mempunyai wilayah kekuasaan yang lumayan luas, mulai dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen ,Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Berdasarkan prasasti Bogor, karena pamor kerajaan Galuh Purba menurun kalah pamor dynasti Syilendra di Jawa Tengah yang mulai berkembang, kemudian ibukota kerajaan Galuh Purba pindah ke Kawali (dekat garut) kemudian disebut Kerajaan Galuh Kawali.
Pada saat itu di wilayah timur berkembang Kerajaan Kalingga yang konon merupakan kelanjutan dari Kerajaan Galuh Kalingga sebuah Kerajaan di wilayah Galuh Purba.
Sedangkan di wilayah barat berkembang Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Salakanegara.
Pada masa Purnawarman menjadi Raja Tarumanegara, kerajaan Galuh Kawali menjadi kerajaan bawahan Tarumanegara. Pada saat Tarumanegara diperintah oleh Raja Candrawarman kerajaan bawahan Tarumanegara mendapatkan kekuasaannya kembali termasuk Galuh Kawali. Pada masa Tarumanegara Pemerintahan Raja Tarusbawa, Wretikandayun Raja Galuh Kawali memisahkan diri (merdeka) dari Tarumanegara dan mendapat dukungan dari Kerajaan Kalingga, kemudian menjadi Kerajaan Galuh dengan pusat pemerintahan Banjar Pataruman. Kerajaan Galuh ini yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat.
Meskipun dalam perkembangannya Kerajaan Galuh Purba berkembang menjadi Kerajaan besar yaitu Kalingga di Jawa Tengah dan Galuh di Jawa Barat, hubungan keturunan Galuh Purba tetap terjalin dengan baik dan terjadi perkawinan antar Kerajaan sehingga muncul Dinasti Sanjaya yang kemudian mempunyai keturunan raja-raja di Jawa.
Wilayah Kerajaan Galuh Purba sebelum pindah ke Kawali mempunyai wilayah kekuasaan yang lumayan luas, mulai dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen ,Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Berdasarkan kajian bahasa yang dilakukan oleh E.M. Uhlenbeck, 1964, dalam bukunya : “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura”, The Hague: Martinus Nijhoff, bahasa yang digunakan oleh “keturunan Galuh Purba” masuk ke dalam Rumpun Basa Jawa Bagian Kulon yang meliputi :Sub Dialek Banten Lor
Sub Dialek Cirebon/Indramayu, Sub Dialek Tegalan, Sub Dialek Banyumas,
Sub Dialek Bumiayu (peralihan Tegalan karo Banyumas), Kelompok dialek ini biasa disebut Bahasa Jawa Ngapak-ngapak atau Bahasa Banyumasan.
Sub Dialek Cirebon/Indramayu, Sub Dialek Tegalan, Sub Dialek Banyumas,
Sub Dialek Bumiayu (peralihan Tegalan karo Banyumas), Kelompok dialek ini biasa disebut Bahasa Jawa Ngapak-ngapak atau Bahasa Banyumasan.
Bila kita lihat dari sejarah tersebut, diperoleh informasi bahwa perkembangan peradaban Banyumasan sudah berkembang sedemikian jauh sebelum masa-masa Kerajaan Majapahit. Artinya peradaban budaya dan bahasa Banyumasan sudah sangat tua jauh sebelum Kerajaan Mataram Islam yang kemudian terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Istilah Banyumas sendiri itu muncul jauh setelah Kerajaan Galuh Purba yaitu pada saat R. Jaka Kaiman membangun Pusat Kadipaten di Hutan Mangli Kejawar tepatnya pada masa akhir Kerajaan Pajang sebelum muncul Kerajaan Mataram Islam. Silahkan baca Pohon Tembaga dan Awal Mula Banyumas.
Pada zaman Kesultanan Demak (1478 – 1546), wilayah Banyumasan terdiri dari beberapa Kadipaten, diantaranya Kadipaten Pasirluhur dengan Adipatinya Banyak Belanak, juga Kadipaten Wirasaba dengan Adipatinya Wargo Utomo I. Luasnya kekuasaan Kesultanan Demak membuat Sultan Trenggono (Sultan Demak ke III) merasa perlu memiliki angkatan perang yang kuat, untuk itu wilayah-wilayah Kesultanan Demak pun dibagi-bagi secara militer menjadi beberapa daerah komando militer. Untuk wilayah Barat, Sultan Trenggono mengangkat Adipati Banyak Belanak sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan Barat dengan cakupan wilayah meliputi Kerawang sampai gunung Sumbing (Wonosobo). Sebagai salah seorang Panglima Perang Kesultanan Demak, Adipati Pasirluhur dianugrahi gelar Pangeran Senopati Mangkubumi I sedangkan adiknya yang bernama Wirakencana diangkat menjadi Patih.
Setelah Sultan Trenggono wafat, Kesultanan Demak terpecah menjadi 3 bagian, salah satunya adalah Pajang yang diperintah oleh Joko Tingkir dan bergelar Sultan Adiwijaya (1546 – 1587). Pada masa ini, sebagian besar wilayah Banyumasan termasuk dalam kekuasaan Pajang.
Mengikuti kebijakan pendahulunya, Sultan Adiwijaya juga mengangkat Adipati Pasirluhur yang saat itu dijabat Wirakencana, menjadi Senopati Pajang dengan gelar Pangeran Mangkubumi II. Sementara itu Adipati Kadipaten Wirasaba, Wargo Utomo I wafat dan salah seorang putranya ( putra menantu ) bernama R. Joko Kaiman diangkat oleh Sultan Adiwijaya menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Wargo Utomo II, beliau menjadi Adipati Wirasaba ke VII.
Menjelang berakhirnya kejayaan kerajaan Pajang dan mulai berdirinya kerajaan Mataram (1587), Adipati Wargo Utomo II menyerahkan kekuasaan Kadipaten Wirasaba ke saudara-saudaranya, sementara beliau sendiri memilih membentuk Kadipaten baru dengan nama Kadipaten Banyumas dan beliau menjadi Adipati pertama dengan gelar Adipati Marapat.
Selanjutnya, Kadipaten Banyumas inilah yang berkembang pesat, telebih setelah pusat Kadipatennya dipindahkan ke Sudagaran – Banyumas, pengaruh kekuasaannya menyebabkan Kadipaten-Kadipaten lainnya semakin mengecil. Seiring dengan berkembangnya Kerajaan Mataram, Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan pun tunduk pada kekuasaan Mataram.
Kekuasaan Mataram atas Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tidak secara otomatis memasukkan wilayah Banyumasan ke dalam “lingkar dalam” kekuasaan Mataram sehingga Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tersebut masih memiliki otonomi dan penduduk Mataram pun menyebut wilayah Banyumasan sebagai wilayah Mancanegara Kulon.
Sebelum Belanda masuk, wilayah Banyumasan disebut sebagai daerah Mancanegara Kulon dengan rentang wilayah meliputi antara Bagelen (Purworejo) sampai Majenang (Cilacap). Disebut Mancanegara Kulon karena pusat pemerintahan waktu itu memang berada di wilayah Surakarta atau wilayah wetan.
Terhitung sejak tanggal 22 Juni 1830, daerah Mancanegara Kulon ini secara politis masuk di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda, itulah awal penjajahan Belanda, sekaligus akhir dari pendudukan kerajaan Mataram atas bumi Banyumasan. Selanjutnya para Adipati di wilayah Banyumasan pun tidak lagi tunduk pada Raja Mataram, mereka selanjutnya dipilih dan diangkat oleh Gubernur Jenderal dan dipilih dari kalangan penduduk pribumi, umumnya putera atau kerabat dekat Adipati terakhir.
Pemerintahan di wilayah Banyumasan diatur berdasarkan Konstitusi Nederland yang pada pasal 62 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintahan umum di Hindia Belanda (Indonesia) dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal adalah kepala eksekutif yang berhak mengangkat serta memberhentikan para pejabat di Hindia Belanda, termasuk para Adipatinya. Saat itu yang menjadi Gubernur Jenderal adalah Johannes Graaf van den Bosch (16 Januari 1830 – 2 Juli 1833).
Upaya untuk mengontrol para Adipati ini sebenarnya agar Belanda mudah melakukan mobilisasi rakyat untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda yang lebih dikenal dengan tanam paksa. Persiapan pembentukan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Banyumasan dilakukan oleh Residen Pekalongan bernama Hallewijn. Hallewijn tiba di wilayah Banyumasan pada 13 Juni 1830 dengan tugas utama mempersiapkan penyelenggaraan pemerintahan sipil di wilayah Banyumasan. Dia dibantu antara lain oleh Vitalis sebagai administrator juga Kapiten Tak sebagai komandan pasukan.
Tanggal 20 September 1830, Hallewijn memberikan laporan umum hasil kerjanya kepada Komisaris Kerajaan yaitu Jenderal De Kock di Sokaraja, diantara isi laporan tersebut adalah tentang cakupan wilayah Banyumasan yang meliputi (dari timur) : Kebumen, Banjar (Banjarnegara), Panjer, Ayah, Prabalingga (Purbalingga), Banyumas, Kroya, Adireja, Patikraja, Purwakerta (Purwokerto), Ajibarang, Karangpucung, Sidareja, Majenang sampai ke Daiyoe-loehoer (Dayeuhluhur), termasuk juga di dalamnya tanah-tanah Perdikan (daerah Istimewa) seperti Donan dan Kapungloo. Pada pertemuan di Sokaraja itulah akhirnya diresmikan berdirinya Karesidenan Banyumas yang meliputi sebagian besar wilayah mancanegara kulon, selanjutnya tanggal 1 November 1830 de Sturler dilantik sebagai Residen Banyumas pertama.
Pada tanggal 18 Desember 1830 melalui Beslit Gubernur Jenderal J.G. van den Bosch, Karesidenan Banyumas diperluas dengan dimasukkannya Distrik Karangkobar (Banjarnegara), pulau Nusakambangan, Madura (sebelumnya termasuk wilayah Cirebon) dan Karangsari (sebelumnya termasuk wilayah Tegal).
Untuk mengefektifkan jalannya pemerintahan, pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 22 Agustus 1831 membentuk 4 Regentschap (Kabupaten) di wilayah Karesidenan Banyumas yaitu, Kabupaten Banyumas, Ajibarang, Daiyoe-loehoer dan Prabalingga yang masing-masing dipimpin oleh seorang Bupati pribumi. Selain itu Residen de Sturler juga melakukan perubahan ejaan nama dan pembentukan struktur Afdeling yang berfungsi sebagai Asisten Residen di masing-masing Kabupaten.
Di antara yang mengalami perubahan nama adalah Prabalingga menjadi Poerbalingga, Daiyoe-Loehoer menjadi Dayoehloehoer dan Banjar menjadi Banjarnegara, selanjutnya wilayah Banjarnegara diperluas dengan memasukkan Distrik Karangkobar, statusnyapun ditingkatkan menjadi sebuah Kabupaten.
Pembentukan Afdeling meliputi, Kabupaten Dayoehloehoer dan Kabupaten Ajibarang menjadi satu Afdeling yaitu Afdeling Ajibarang dengan ibukota Ajibarang dan D.A. Varkevisser diangkat sebagai Asisten Residen di Ajibarang sekaligus sebagai ”pendamping” Bupati Ajibarang Mertadiredja II dan Bupati Dayoehloehoer R. Tmg. Prawiranegara. Tiga Kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara masing-masing memiliki Afdeling sendiri-sendiri.
Wilayah Banyumasan merupakan sebuah wilayah yang meliputi 8 Kabupaten yaitu : Kabupaten Kebumen, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas.
Budaya Banyumasan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah, walaupun akarnya masih merupakan budaya Jawa. Hal ini sangat terkait dengan karakter masyarakatnya yang sangat egaliter tanpa mengenal istilah ningrat atau priyayi. Hal ini juga tercermin dari bahasanya yaitu bahasa Banyumasan yang pada dasarnya tidak mengenal tingkatan status sosial. Penggunaan bahasa halus (kromo) pada dasarnya merupakan serapan akibat interaksi intensif dengan masyarakat Jawa lainnya (wetanan) dan ini merupakan kemampuan masyarakat Banyumasan dalam mengapresiasi budaya luar. Penghormatan kepada orang yang lebih tua umumnya ditampilkan dalam bentuk sikap hormat, sayang serta sopan santun dalam bertingkah laku. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh feodalisme memang terasa tetapi itu bukan merupakan karakter asli masyarakat Banyumasan. Selain egaliter, masyarakat Banyumasan dikenal memiliki kepribadian yang jujur serta berterus terang atau biasa disebut Cablaka / Blakasuta.
Demikian Saudara sedikit cerita tentang asal mula Wong Banyumasan cukup menarik bukan, dengan cerita di atas mudah-mudahan dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Yang menjadi pertanyaan inyong yang cukup menggelitik adalah tentang sedikitnya informasi yang bisa kita dapatkan untuk mencari jejak sejarah Banyumasan terutama terkait Kerajaan Galuh Purba, ini tentunya merupakan tantangan bagi Sejarawan Banyumasan untuk menggali lebih dalam jati diri bangsa Banyumasan.
Sebagai penutup tulisan, karena inyong bukan ahli sejarah dan hanya “menggatuk-gatukan” dari sumber yang ada sekitanya ada yang salah mohon untuk diluruskan.. ehhh..mbok kayakuwe…Klilaan.. (diolah dari beberapa sumber, sumber utama Wikipedia Bahasa Indonesia dan Basa Banyumasan)
Arti atau Pengertian Galuh
w Galuh
Kata ”galuh” memiliki beberapa arti dan makna. Kata ”galuh” dipahami secara umum berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti permata. Dalam kehidupan kerajaan di Indonesia, khususnya di Jawa, sebutan “Galuh” biasa ditujukan pada pada putri raja yang masih lajang, tetapi sudah turut dalam pemerintahan.
Dalam budaya masyarakat Galuh (Sunda), makna kata ”galuh” identik dengan ”galeuh”, bagian tengah (inti) pohon/kayu berwarna kehitam-hitaman dan keras, bukan galeuh yang berarti beli. Kata ”galuh” juga dipahami identik dengan “galih” (qolbu), sehingga ada ungkapan dalam bahasa Sunda, ”Galuh galeuhna galih” (“Galuh intinya hati” atau “inti hati adalah galuh”). Ungkapan itu menunjukkan bahwa kata ”galuh” memiliki makna filosofis yang dalam.
W.J. van der Meulen S.J. dalam bukunya berjudul Indonesia di Ambang Sejarah (1988), menyatakan kata ”galuh” berasal dari kata “saka lo” (bahasa Tagalog) yang berarti “dari sungai asalnya” = air. Kata itu berubah menjadi “segaluh/sagaluh”.
w Ciamis
Secara etimologis (bahasa Sunda), “ciamis” berasal dari kata “ci” yang berarti air dan “amis” yang berarti manis. Dalam konteks kesejarahan Galuh, sebutan “Ciamis” bukan baru muncul pada peristiwa perubahan nama Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis (diudangkan dalam Staatsblad tahun 1915). Sebutan “Ciamis” yang ditujukan pada tempat/daerah sudah muncul jauh sebelumnya.
Menurut sumber-sumber tradisi, sebutan “amis” dalam kata “ciamis” yang ditujukan pada tempat/daerah (Galuh), bukan “amis” dalam arti “manis”, melainkan “amis” dalam bahasa Jawa yang berarti “anyir”. Hal itu berkaitan dengan peristiwa penyerangan pasukan Mataram ke pussat Kerajaan Galuh (akhir abad ke-16). Peristiwa itu mengakibatkan “banjir darah” di daerah Galuh. “Banjir darah” yang terhebat terjadi di Ciancang (1739), sehingga peristiwa itu disebut “Bedah Ciancang”. Kata “amis” yang berarti “anyir” dilontarkan oleh pejabat Mataram yang mengontrol ke daerah pusat Kerajaan Galuh dan ditujukan pada bau darah manusia. Berarti sebutan “ciamis” yang dilontarkan oleh pihak Mataram adalah cemoohan atau hinaan.
Informasi itu beralasan untuk dipercaya, karena bila kata ”ciamis” dimunculkan oleh orang Galuh (orang Sunda), tentu ”amis” yang dimaksud adalah rasa manis atau amis yang bermakna baik. Misal, ungkapan ”amis budi”, ”adu manis” dan lain-lain. Tidak masuk akal bila orang Galuh (orang Sunda) memberi nama daerahnya dengan nama yang memiliki arti jelek. Sampai saat, saya belum menemukan sumber akurat yang memuat penjelasan lain mengenai asal-usul dan pengertian kata “ciamis” pada awal kemunculannya.
Penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa asal-usul nama Ciamis mengandung makna yangjelek dan penghinaan terhadap orang Galuh.
Penggunaan Nama Galuh dan Ciamis
Beberapa sumber tertulis menunjukkan, bahwa nama “Galuh” telah digunakan jauh sebelum berdirinya Kerajaan Galuh (awal abad ke-7) yang berpusat di Bojong Galuh (sekarag Karangkamulyan). Mungkin nama atau sebutan “galuh” mulai dikenal oleh sejumlah warga masyarakat melalui cerita bersifat mitos, karena cerita itu menyebar di kalangan masyarakat. Tokoh sentral dalam cerita itu adalah Ratu Galuh, penguasa di daerah yang kemudian bernama Galuh. Ia adalah seorang ratu yang memiliki kesaktian. Diduga cerita itu muncul jauh sebelum berdirinya Kerajaan Galuh. Boleh jadi sang ratu dalam cerita tersebut menggunakan kata “galuh” menjadi bagian nama dirinya atau julukan pada dirinya (Ratu Galuh), karena parasnya yang cantik dan bersih, sehingga seolah-olah bersinar seperti permata.
Nama ”Galuh” kemudian digunakan menjadi nama beberapa tempat, kerajaan, dan lain-lain
w Galuh Sebagai Nama Tempat dan Kerajaan
Pada peta Pulau Jawa, khususnya peta kuno, tercatat tempat-tempat yang menggunakan kata “galuh”, antara lain Galuh (Probolinggo), Galuh Timur (Bumiayu), Samigaluh (Purworejo), Sagaluh (Purwodadi), Sirah Galuh (Cilacap), Rajagaluh, Ujung Galuh, Tatar Galuh (wilayah Kerajaan Galuh). Nama kerajaan: Kerajaan Galuh Purba (abad ke-5 Masehi) di sekitar Gunung Slamet, Kerajaan Galuh, Kerajaan Galuh-Kawali.
w Galuh Dalam Sumber Tradisi
Sejalan dengan keberadaan kerajaan dan kabupaten bernama Galuh, kata/sebutan ”Galuh” juga dikenal oleh masyarakat melalui sumber-sumber tradisi (sumber tertulis) berupa babad/naskah, antara lain Babad Bojong Galuh, Babad Galuh-Imbanagara, Carita Ciung Wanara,Carita Lutung Kasarung, Carita Parahyangan, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Wawacan Sajarah Galuh, dan lain-lain.
w Galuh dan Ciamis Dalam Panggung Sejarah
Nama ”Galuh” muncul dalam panggung sejarah terutama berkaitan dengan Kerajaan Galuh dan Kabupaten Galuh. Kerajaan Galuh berlangsung selama lebih-kurang 10 abad (awal abad ke-7 hingga awal abad ke-17). Fakta sejarah menunjukkan Kabupaten Galuh (kabupaten bernama Galuh) di Tatar Sunda berlangsung selama lebih-kurang tiga abad (awal abad ke-17 hingga awal abad ke-20).
Eksistensi kerajaan dan kabupaten bernama Galuh, diikuti oleh corak kehidupan masyarakat yang melahirkan budaya Galuh. Dalam budaya Galuh terkandung hal-hal yang berupa kearifan lokal, sekaligus bersifat falsafah yang disebut ”Falsafah Kagaluhan”. Falsafah ini merupakan suatu ilmu yang diciptakan oleh Prabu Haurkuning – keturunan raja Galuh --, sehingga ilmu itu disebut ”Elmu Kagaluhan Haurkuning”. Inti ilmu/falsafah itu adalah prinsip dalam kehidupan manusia:
”Hirup kumbuh téh kudu didasaran ku silih asih. Ananging hirup téh teu cukup ku asih baé, tapi kudu dipirig ku budi pekerti anu hadé. Kudu aya pamilih antara hadé jeung goréng. Ari nu sok kaseungitkeun teh taya lian anging anu berbudi”.
(Hidup bermasyarakat harus dilandasi oleh kasih-mengasihi. Namun tidak cukup demikian, tetapi harus disertai pula oleh budi pekerti yang baik. Harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang buruk. Orang berbudi baik, namanya akan ”harum”).
Kearifan lokal yang bersifat falsafah dan merupakan bagian dari Falsafah Kagaluhan antara lain terkandung dalam kalimat penutup pada Prasasti Kawali I:
”Pakéna gawé rahayu pakeun heubeul jaya di buana”[1].
(”Membiasakan melakukan hal-hal yang baik, agar lama berjaya
di dunia”).
Setelah Writekandayun mendirikan Kerajaan Galuh dan melepaskan diri dari kekuaaan Kerajaan Tarumanagara yang telah berubah menjadi Kerajaan Sunda, ia mengadakan perundingan dengan Raja Sunda Maharaja Tarusbawa mengenai batas wilayah kedua kerajaan. Kedua belah pihak sepakat, batas wilayah kedua kerajaan adalah sungai Citarum. Perundingan itu disebut ”Perjanjian Galuh”.
Hal-hal tersebut adalah contoh penggunaan nama/kata ”galuh” dalam panggung sejarah. Contoh-contoh dimaksud mengandung arti nama Galuh memiliki nilai historis yang tinggi[2].
Fakta sejarah menujukkan, nama ”Ciamis” pertama kali digunakan secara formal sebagai nama ibukota baru Kabupaten Galuh, menggantikan kedudukan Cibatu. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Bupati Pangeran Sutawijaya (1812-1815) yang berasal dari Cirebon. Mengapa ibukota baru ittu diberi nama Ciamis, belum diketahui secara pasti. Boleh jadi nama itu diberikan oleh Pangeran Sutawijaya, sehingga ”amis” yang dimasud adalah ”amis” yang berarti ”anyir”, karena dalam bahasa Jawa Cirebon pun kata ”amis” memang berarti ”anyir”.
Perpindahan ibukota Kabupaten Galuh dari Cibatu ke Ciamis terjadi pada masa pemerintahan Bupati Wiradikusumah (1815-1819). Masih pada awal abad ke-19, Kabupaten Galuh masuk ke dalam wilayah Keresidenan Cirebon yang berlangsung sampai tahun 1915. Dalam kurun waktu itu, nama Ciamis digunakan menjadi nama distrik dalam lingkungan Kabupaten Galuh. Setelah Kabupaten Galuh dikembalikan ke dalam wilayah Keresidenan Priangan, Bupati Galuh R.A.A. Sastrawinata (1914-1936) mengubah nama kabupaten menjadi Kabupaten Ciamis. Namun alasan perubahan nama itu tidak jelas.[3] Nama Kabupaten Ciamis – seperti telah disebutkan – dikukuhkan/diresmikan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1915.[4] Berarti penggunaan nama Ciamis sampai sekarang (2012) berlangsung selama lebih-kurang dua abad (awal abad ke-19 hingga awal abad ke-21).
Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa nama Ciamis pun memang memiliki nilai historis. Namun nilai itu menjadi rendah karena dikotori oleh arti kata ”amis” menurut asal-usulnya, dan nama Ciamis tidak mengandung makna filosofis.
w Galuh dan Ciamis Dalam Kehidupan Sosial Budaya
Meskipun sampai sekarang Ciamis digunakan secara formal sebagai nama kabupaten/pemerintahan, namun dalam kehidupan sosial budaya warga masyarakat pituin (asli) Galuh, penggunaan nama Galuh lebih menonjol dibandingkan dengan penggunaan nama Ciamis. Nama Galuh melekat kuat seolah-olah terpatri dalam diri urang Galuh. Boleh jadi, hal itu disebabkan urang Galuh memahami makna filosofis dan daya magis dalam nama itu, selain nilai historis yang menunjukkan kebesaran nama Galuh. Bagi orang Galuh yang memahami budaya Galuh, nama Galuh menjadi bagian dari jati diri atau identitas diri, sekaligus menjadi kebanggaan.
Bahwa nama Galuh demikian terpatri dalam hati dan pikiran orang Galuh, ditunjukan oleh pemakaian kata Galuh menjadi nama lembaga, organisasi/ perkumpulan, nama perusahaan, acara seni buddaya, dan lain-lain.
Contoh antara lain:
Ÿ Paguyuban Rundayan Galuh Pakuan, perkumpulan tokoh-tokoh yang masih merupakan keturunan Bupati Galuh tempo dulu.
Ÿ Universitas Galuh.
Ÿ Galuh Taruna, organisasi mahasiswa asal Galuh.
Ÿ KPM (Keluarga Pelajar dan Mahasiswa) Galuh Rahayu, perkumpulan pelajar dan mahasiswa asal Galuh di Yogyakarta. Mereka tinggal di Asrama Mahasiswa Galuh.
Ÿ KBM (Keluarga Besar Mahasiswa) Galuh Jaya, perkumpulan mahasiswa asal Galuh di Jakarta.
Ÿ Galuh Sangga Buana, organisasi pramuka.
Ÿ Yayasan Galum Imbanagara.
Ÿ Bale Sawala Galuh Raya.
Ÿ Stadion Galuh (stadion olah raga).
Ÿ Orang-orang Galuh di perantauan membentuk organisasi dengan nama ”Wargi Galuh” di Bandung, Paguyuban Wargi Galuh di Jakarta, Galuh Pamitran di Purwokerto, dengan pusat di Bandung, sehingga organisasi di Bandung disebut ”Wargi Galuh Puseur”.
Ÿ Di beberapa tempat, Galuh dijadikan nama kegiatan usaha skala besar dan kescil, seperti PT Pratama Galuh Perkasa, Toko Galuh, Bengkel Motor Galuh, dan lain-lain.
Ÿ Museum Galuh Pakuan, diresmikan tanggal 18 Juli 2010.
Ÿ Lembaga Adat Keraton Galuh Pakuan di Subang, dideklarasikan bulam Maret 2012.
Ÿ Hurug ”G” dari kata Galuh.
Huruf ”G” biasa digunakan menjadi unsur nama oleh orang-orang keturunan ménak (bangsawan) Galuh.
Ÿ Helaran Budaya Galuh.
Pertunjukan berbagai jenis kesenian tradisional Galuh. Acara itu pernah digelar di halaman pendopo Kabupaten Ciamis tanggal 18 Agustus 2009, dalam rangka memperingati HUT RI ke-64.
Ÿ Pemda Ciamis sendiri nenamakan wilayahnya dengan sebutan Tatar Galuh. Sebutan ini antara lain ditulis pada spanduk yang dipasang pada jembatan besi di daerah perbatasaan dengan Tasikmalaya. Tulisan itu berbunyi ”Selamat Datang di Tatar Galuh”.
Contoh tersebut menunjukkan ”semangat kagaluhan”, dalam arti orang Galuh pada umumnya lebih senang menggunakan nama Galuh daripada nama Ciamis.
Pengembalian Nama Galuh dan Alasannya
Gagasan pengambalian nama Galuh sebagai nama kabupaten dan wilayahnya, telah muncul beberapa tahun yang lalu. Wacana itu digulirkan lagi pada momentum peresmian Museum Galuh Pakuan (Juli 2010) dan beberapa waktu kemudian. Gagasan/wacana itu menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Hal itu diekspos dalam berbagai media masa dan media elektonik (internet), sehingga diketahui secara umum. Ternyata, pihak yang pro jumlahnya lebih banyak, termasuk Wakil Gubernur Jawa Barat Dede M. Yusuf. Hal itu diberitakan antara lain dalam koran Pikiran Rakyat edisi 20 Juli 2010 dengan judul ”Dukungan Perubahan nama Semakin Luas”. Dengan demikian, wacana tersebut dapat dikatakan merupakan aspirasi masyarakat.
Pihak yang pro terhadap gagasan tersebut tentu memiliki alasan, demikian pula pihak yang kontra. Bila ditelaah secara seksama, alasan pihak yang pro secara garis besar menyangkut beberapa hal.
1) ”Semangat kagaluhan” dilandasi oleh pemahaman akan arti, makna, dan nilai yang terkandung dalam nama Galuh, seperti telah disebutkan.
2) Perubahan nama daerah memiliki payung hukum, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 1 dan 2, Tentang Pemerintah Daerah. Pasal itu antara menyatakan: ”..... perubahan nama daerah bisa dilakukan atas usul dan persetujuan daerah yang bersangkutan”.
Berdasarkan undang-undang itulah, nama Ujung Pandang kembali menjadi Makasar dan Irian kembali menjadi Papua.
3) Harapan warga masyarakat, khususnya tokoh-tokoh yang pro terhadap gaga- san tersebut, bahwa secara psikologis pengembalian nama Galuh diharapkan dapat mewujudkan ”semangat kagaluhan” dalam kegiatan bidang ekonomi, sosial budaya, dan juga dalam bidang pemerintahan.
Alasan utama pihak yang kontra, menyangkut finansial. Katanya pengembalian nama Ciamis ke Galuh akan mengakibatkan pemborosan biaya besar, karena harus mengganti atribut dan label-label sarana administrasi pemerintahan. Perlu dikemukakan, bahwa di antara anggota DPRD Kabupaten Ciamis, ada yang pro dan menyangkal pelaksanaan pengembalian nama Galuh akan memelukan biaya besar. Oleh karena itu, pemeritah harus merespon wacana tersebut dan ”jangan takut menjadi Kabupaten Galuh” (PRLM, 19 Juli2010 dan Kabar Ciamis, 23 November 2011).
Mengapa Pemerintah Kabupaten Ciamis tidak/belum tanggap terhadap hal-hal tersebut?
PENUTUP
Bila nilai dan makna Galuh dipahami secara seksama dan dibandingkan dengan asal-usul nama Ciamis, gagasan/tuntutan dan harapan dikembalikannya nama Ciamis menjadi Galuh, bukan primordialisme dan bukan pula subyektif kesukuan. Secara umum, pengembalian nama itu diharapkan dapat membangkitkan ”semangat kagaluhan”, semangat untuk mempererat persatuan dan kesatuan warga Galuh, sehingga segala potensi Galuh menunjang pengembangan Tatar Galuh dan masyarakatnya. Hal itu kiranya sejalan dengan kebanggaan warga masyarakat umumnya akan pamor nama Galuh.
Oleh karena itu, sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, seyogyanya DPRD Kabupaten Ciamis menyambut baik (menyetujui) aspirasi mayoritas warga untuk mengembalikan nama Ciamis ke Galuh. Digunakannya kembali nama Galuh, diharapkan budaya Galuh pun akan ”bersinar” kembali. Semoga!
SUMBER ACUAN
(Seketif)
Anonim. 2010.
”Dukungan Perubahan Nama Semakin Luas”. Pikiran Rakyat, 20 Juli 2010.
--------. 2010.
”Wacana Kab. Ciamis Jadi Kab. Galuh; Dukungan Perubahan Semakin Luas”. PRLM, 20 Juli 2010. http://islam-kucinta.blogspot.com. Posted by Admin.
--------. 2011.
“Jangan Takut Menjadi Kabupaten Galuh”. http://kabarcamis.word- press.com/author/kabarciamis.
Dase, Achmad. 2000.
”Ciamis Rawuh Ka Galuh”. Mangle, No, 1765, 15 Juni 2000.
Hardjasaputra, A. Sobana. 2003.
Sejarah Galuh Abad ke-7 s.d. Pertengahan Abad ke-20. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
--------. 2003
”Ciamis Pulangkeun Deui Ka Galuh”. Galura, November 2003.
--------. 2004.
Semangat Kegaluhan Dan Maknanya Dalam Perspektif Sejarah. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
Van der Meulen S.J., W.J. 1988.
Indonesia di Ambang Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.
Mustafid. 2010.
”Wagub Setuju Perubahan Nama Kab. Ciamis Menjadi Galuh”. Tribun, 19 Juli 2010.
--------. 2010.
”Semangat Kegaluhan di Perantauan; Galuh Sebagai Identitas Diri”. http://priangan-online.com, 22 Juli 2020.
Sofiani, Yulia. 2012.
R.A.A. Kusumadiningrat & R.A.A. Kusumasubrata; Gaya Gidup Bupati-Bupati Galuh 1839-1914. Yogyakarta: Ombak.
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1915 No. 670.
[3] Mengenai perubahan nama Galuh menjadi Ciamis oleh Bupati R.A.A. Sastrawinata, terkesan mengandung muatan politik. Pertama, ia tidak mau disebut keturunan bupati Galuh, karena ia adalah keturunan bupati Karawang, padahal Bupati Karawangan pertama, yakni Adipati Singaperbangsa I adalah keturunan Bupati Galuh. Kedua, ia seolah-olah tidak mengetahui asal-usul kata “amis” dalam nama Ciamis. Ketiga, Bupati R.A.A. Sastrawinata meminta pemerintah Hindia Belanda mengukuhkan/meresmikan nama Kabupaten Ciamis untuk menunjukkan loyalitasnya kepada pemerintah Hindia Belanda, guna memperkuat kedudukannya sebagai bupati.
Langganan:
Postingan (Atom)